Total Tayangan Halaman

Minggu, 24 Desember 2017

MAKALAH
TEORI BERLAKUNYA KAEDAH HUKUM DAN LANDASAN KEKUATAN YANG MENGIKAT DARI HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hukum di dalam masyarakat sangat erat dan berhubungan dengan kaidah atau nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Adanya hukum dalam suatu negara yang bermasyarakat akan membantu adanya ketertiban, keadilan dan keseimbangan hak dan kewajiban setiap warga negara yang menduduki suatu wilayah Negara. Hukum sebagai kaidah merupakan suatu perikelakuan atau sikap tindak yang sepantasnya untuk di lakukan, dimana batasan-batasan atau patokan tersebut memberikan dan dijadikan pedoman b
agi masyarakat, bagaimana seharusnya manusia bertindak dan berkelakuan yang sesuai dengan norma atau aturan yang berlaku. Dalam makalah ini penulis akan membahaskeberlakuan kaidah hukum menurut Bruggink yang di bagi menjadi tiga macam keberlakuan, yaitu : keberlakuan faktual atau empiris, keberlakuan normatif atau formal, dan keberlakuan evaluatif.
Untuk menentukan sahnya suatu kaedah hukum juga membutuhkan sebuah landasan kekuatan yang mengikat hukum dimana yang landasan itu terdiri dari tiga landasan yaitu diantaranya: landasan filosifis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Disinilah arti penting sebuah kaedah dan landasan sebuah hukum perlu ditetapkan dalam suatu Negara yang bermasyarakat.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana teori berlakunya hukum?
2.      Bagaimana hukum ditaati oleh masyarakat?
C.     TUJUAN
Adapun tujuannya yaitu untuk mengetahui Teori Berlakunya Kaidah Hukum Dan  Landasan Kekuatan Yang Mengikat Dari Huku


BAB II
PEMBAHASAN
       A. Teori Berlakuya Hukum
Barangkali kita bertanya, “Dari manakah asalnya hukum dan mengapa orang menaati dan tunduk pada hukum?” untuk menjawab hal itu dikenal sebagai teori dan aliran pendapat dalam Ilmu Pengetahuan Hukum.Teori Hukum hakekatnya adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sisem tersebut untuk sebagian yang pentinh dipositifkan.[1]
                              1.            Teori Hukum Alam
Teori Hukum Alam telah ada sejak Zaman Yunani Kuno yang diajarkan anatara lain oleh Aristoteles, yaotu membagi dua macam hukum, antara lain :
a.       Hukum yang berlaku karena penetapan penguasa negara
b.      Hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia tentang baik buruknya, hukum yang asli.[2]
Menurut Aristoteles, pendapat seseorang tentang keaslian adalah berbeda, sehingga seolah-olah tidak ada Hukum Alam yang asli. Namun demikian, keaslian suatu benda atau hal tidaklah tergantung pada waktu dan tempat, terkecuali dalam sesuatu hal tentulah ada.[3]
Berhubung dengan hal itu menurut Aristoteles, Hukum Alam itu adalah Hukum yang oleh orang-orang berpikiran seha dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam.
Thomas van Aquino (1225-1274) berpendapat , bahwa segala kejadian di alam ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu Undang-undang abadi yang menjadi dasar kekusaan dari semua peraturan-peraturan lainnya. Thomas van Aquino Membedakan 4 macam golongan hukum (rechtscategorien) , yaitu Lex aeterna, lex naturalis, lex divina, hukum positif.
a.       Lex aeterna (Hukum Abadi), yaitu rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal yang ada sesuai dengan tujuan dan sifatnya, karena itu merupakan sumber dari segala hukum,
b.      Lex Divina (Hukum Ke-Tuhanan), yaitu sebagian kecil dari rasio Tuhan yang diwahyukan kepada manusia,
c.       lex Naturalis (Hukum Alam), yaitu bagian dari Lex Divina yng dapat ditangkap oleh rasio manusia atau merupakan penjelmaan dari Lex Aeterna di dalam rasio manusia berkat rasio manusia,
d.      Hukum Positif, yaitu hukum yang berlaku sungguh-sungguh di dalam masyarakat.[4]
Manusia dikaruniai Tuhan dengan kemampuan berpikir dan kecakapan untuk dapat membedakan baik dan buruk serta mengenal berbagai peraturan perundangan yang langsung berasal dari Undang-undang abadi itu, dan yang oleh Thomas van Aquino dinamakan Hukum Alam ( Lex Naturalis).[5]
Hugo de Groof (abad ke-17), seorang penganjur Hukum Alam dalam bukunya “ De Jure Belli Ac Pacis” (Tentang Hukum perang dan damai), berpendapat bahwa sumber hukum alam adalah pikiran atau akal manusia. Menurutnya, Hukum Alam adalah pertimbangan pikiran yang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Hukum Alam itu merupakan suatu pernyataan pikiran (akal) manusia yang sehat mengenai persioalan apakah suatu perbuatan sesuai dengan kodrat manusia, karena itu apakah perbuatan tersebut diperlukan atau harus ditolak.[6]

                              2.            Teori Sejarah
Sebagai kontra terhadap Hukum Alam, di Eropa timbul aliran baru yang depelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861) yang terkenal dengan bukunya “Vom Beruf Unserer Zeit Fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (1814).[7]
Von Savigny berpendapat, bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan jiwa atau rohani sesuatu bangsa, selalu ada suatu hubungan yang erat aatara hukum dengan kepribadian sutu bangsa.[8]

                              3.            Teori Teokrasi (Teori Ketuhanan)
Teori ini mendasarkan kekuatan hukum atas kepercayaan pada Tuhan. Diterima di dunia barat sampai Zaman Renaissance.[9]
Orang menganggap “Hukum itu Kemauan Tuhan”, dimana hukum ini berlaku atas kehendak Tuhan. Pada masa lampau di Eropa para ahli fikir menganggap dan mengajarkan, bahwa hukum itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dan oleh sebab ituah maka manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk pada hukum.
Berhubung peraturan perundang-undangan itu ditetapkan Pengusa Negara, maka oleh penganjur Teori Teokrasi diajarkan, bahwa para Penguasa Negara itu mendapat kuasa dari Tuhan, seolah-olah para Raja dan Penguasa lainnya merupakan wakil Tuhan.[10]

                              4.            Teori Kedaulatan Rakyat
Menurut aliran Rasionalisme ini, bahwa Raja dan Penguasa Negara lainnya memperoleh kekuasaanya itu bukanlah dari Tuhan, tetapi dari rakyatnya.[11]         
      Pertimbangan daripada Teori kedaulatan rakyat adalah :
a.       Raja yang seharusnya memerintah rakyat dengan adil, jujur, dan baik hati sesuai dengan kehendak Tuhan. Tetapi kenyataanya Raja banyak yang bertindak sewenag-wenang.
b.      Apabila kedaulatan Raja berasal daru Tuhan, tidak akan terjadi kekalahan Raja satu atas Raja lainnya.[12]

Pada abad ke-18 Jen Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa asas terjadinya suatu negara adalah “Perjanjian Masyarakat (Contrat Social)” yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakt untuk mendirikan suatu negara. Adapun Teori Jen Jacques Rousseau tersebut dikemukakaya dalam buku karyanya yang berjudull “Le Contrat Social” (1762). Teori Jen Jacques Rousseau yang menjadi dasar paham ‘Kedaulatan Rakyat’ mengajarkan, bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan perundang-undangan adalah penjelman rakyat tersebut.[13]
Pada abad ke-19, ”Hukum adalah Kehendak Negara dan Negara mempunyai kekuatan yang tidak terbatas”. Menurut Hans Kelsen (Reine Rechtslehre) dan Wiener Rechtsshule, hukum sebagai “Wille des Staates” yang artinya bahwa hukum adalah “Kemauan Negara”. Menurut Kelsen orang tidak menaati hukum sebab negara menghendakinya, orang taat pada hukum karena ia merasa wajib menaatinya sebagai perintah Negara. Teori ini mendapat pembelaan dari Kranenburg yang beranggapan bahwa sungguh-sungguh hukum itu berfungsi menurut suatu hukum yang real dengan menggunakan metode empiris-analytis.

                              5.            Teori Kedaulatan Negara
Pada abad ke-19, Teori Perjanjian Masyarakat di tentang oleh teori yang mengatakan, bahwa kekuasaan hukum tidak dapat didasarkan atas kemauan bersama seluruh anggota masyarakat. Hukum itu ditaati adalah karena negaralah yang menghendakinya. Hukum adalah kehendak negara dan negara itu mempunyai kekuatan (power) yang terbatas.[14]
Teori ini dinamakan Teori Kedaulatan Negara, yang timbul pada abad memuncaknya Ilmu-Ilmu Pengetahuan Alam. Namun demikian, Hans Kelsen mengatakan bahwa orang taat kepada hukum bukan karena negara menghendakinya, tetapi orang taat pada hukum karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah ngara.[15]
Penganjur Teori Kedaulatan Negara, yaitu Hans Kelsen dalam bukunya “Reine Rechtslehre”, bahwa hukum itu adalah tidak lain daripada “Kemauan Negara” atau “Wille des Staates”

                              6.            Teori Kedaulatan Hukum
Kedaulatan Negara mendapat pertentangan dari seorang Mahaguru di Universitas Leiden yang bernama Prof. Mr. H. Krabbe. Dalam bukunya yang berjudul “Die Lehre der Rechtssouveraniter”. Menurutnya, hukum itu ada karena tiap-tiap orang memiliki perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanya kaidah yang timbul dari perasaan hukum seseorang, mempunyai kekuasaan / kewibawaan. Suatu peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dari jumlah terbanyak orang, tidak dapat mengikat. Peraturan perundangan yang demikian bukanlah ‘Hukum’ walaupun ia masih ditaati ataupun dipaksakan.[16]
Kelemahan dari teori ini adalah apabila tiap orang mempunyai anggapan sendiri tentang hukum, maka hukum yang berdasarkan anggapan sendiri itu jumlah dan macamnya tak terhingga, sehingga masyarakat menjadi kacau. Oleh sebab itu, tata tertib masyarakat menghendaki adanya hukum yang sama bagi tiap orang. Melihat kelemahan itu Krabbe kembali mengemukakan pendapatnya hukum berasal dari perasaan hukum dari anggota suatu masyarakat. Dari bermacam-macam teori tersebut dapat disimpulkan sebagian kaidah-kaidah ditaati, oleh karena ada paksaan (sanksi) sosial.
Teori yang timbul pada abad ke-20 ini dinamakan Teori Kedaulatan Hukum. Penganut lainnya Hugo de Groof, Immanuel Khant, dan Leon Duguit.

                              7.            Teori (Asas) Keseimbangan
Prof. Mr. R. Kranenburg murid dari dan pengganti Prof. Mr. H. Krabbe berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang. Kranenburg membela ajaran Krabbe, bahwa kesadaran hukum orang itu menjadi sumber hukum. Menurutnya, hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata(riil).[17]
Dalil yang nyata yang menjadi dasar befungsinya kesadaran hukum orang dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut :
“Tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dsar yang telah ditetapkan atau diletakan terlebuh dahulu.
Pembagaian keuntungan dan kerugian dalam hal tidak ditetapkan terlebih dahulu dasar-dasarnya, adalah bahwa tiap-tiap anggota masyarakat hukum sederajat dan sama”.
Hukum atau dalil ini oleh Kranenburg dinamakan Asas Keseimbangan, berlaku dimana-mana dan pada waktu apapun.

B.     Hukum ditaati oleh Masyarakat
1.      Keberlakuan Faktual atau Empiris
Kaidah hukum yang berlaku secara faktual atau nyata jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah itu berlaku mematuhi kaidah hukum tersebut. Dengan demikian, keberlakuan faktual dapat ditetapkan dengan bersaranakan penelitian empiris tentang perilaku para warga masyarakat. Kaidah hukum dikatakan memiliki keberlakuan faktual, jika kaidah itu dalam kenyataan sungguh-sungguh di dipatuhi oleh para warga masyarakat dan oleh para pejabat yang berwenang sungguh-sungguh diterapkan dan ditegakkan. Dengan demikian, kaidah hukum tersebut dikatakan efektif. Sebab, berhasil mempengaruhi perilaku para warga dan pejabat masyarakat.
Kenyataan tentang  adanya keberlakuan faktual ini dapat diteliti secara empirikal oleh Sosiologi Hukum, dengan menggunakan metode-metode yang lazim dalam ilmu-ilmu sosial. Dalam perspektif Sosiologi Hukum, maka hukum itu tampil sebagai ”das Sein-Sollen”, yakni kenyataan sosiologikal (perilaku sosial yang sungguh-sungguh terjadi dalam kenyataan masyarakat riil) yang mengacu keharusan normatif (kaidah).


2.      Keberlakuan Normatif atau Formal
Hukum formal diketahui dan ditaati sehingga berlaku umum. Selama belum mempunyai bentuk, suatu hukum baru merupakan perasaan hukum dalam masyarakat atau baru merupakan cita-cita hukum, oleh karenanya belum mempunyai kekutan mengikat.[18]
Jika suatu kaidah merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk. Sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hirarki kaidah hukum khusus yang bertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi.[19]
Keberlakuan normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris.[20] Selain itu juga obyek telaahnya berkenaan dengan tuntutan perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhanya tidak sepenunya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik.[21]

3.      Keberlakuan Evaluatif
Yaitu jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan keadaan keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan cara keinsafan. Dari sudut suatu pendekatan kefilsafatan , orang dapat mengatakan bahwa hukum memiliki keberlakuan karena isinya bermakna (keberlakuan evaluatif kefilsafatan atau materil). Hal itu merupakan alasan paling penting bagi masyarakat akan menerima hukum (keberlakuan evaluatif empiris). Jika para warga masyarakat menerima hukum, maka mereka juga akan berperilaku mematuhi hukum (keberlakuan evaluatif faktual atau empiris). [22]

C.    Landasan Kekuatan Mengikat Hukum
Untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan diperlukan landasan, karena landasan ini memberikan pengarahan terhadap perilaku manusia di dalam masyarakat. Landasan hukum merupakan pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkrit. Dalam setiap landasan hukum melihat suatu cita-cita yang hendak di capai.
Oleh karena itu, landasan hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat nya.
Menurut Eikema Hommes, landasan hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.
Landasan-landasan hukum yang diperlukan bagi pembentukan peraturan perundang-undang dapat dibedakan kedalam :
1.      Landasan hukum yang menentukan politik hukum,
2.      Landasan hukum yang menyangkut proses pembentukan peraturan perundang-undangan,
3.      Landasan hukum yang menyangkut aspek-aspek formal atau struktual atau organisatoris dari tata hukum nasional,
4.      Landasan hukum yang menentukan cirri dan jiwa tata hukum nasional,
5.      Landasan hukum yang menyangkut subtansi dan peraturan perundang-undangan.


Landasan Hukum yang bukan universal dipengaruhi oleh waktu dan tempat, maka landasan hukum pada suatu Negara tidak sama dengan Negara lain. Landasan hukum itu mengandung nilai- nilai dan tuntutan-tuntutan etik,karenanya landasan hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum (positif) dengan cita-cita sosial dan pandangan etik masyarakat. Melalui landasan hukum ini peraturan- peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian- bagian dari suatu tatanan etik. karena adanya ikatan internal antara landasan- landasan  hukum, maka hukum merupakan suatu sistem, yaitu sistem hukum.

D.    Pandangan Positifisme Hukum
1.      Pelopor Teori Positivisme
Sebagaimana kita ketahui oleh para penstudi hukum, bahwa Pemikir positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command). Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup.
Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis yaitu August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak.
August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengaharuskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci.
Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Yang dimaksud dengan positifisme hukum adalah hal ditetapkannyadalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kewenangan hukum yang berwenang (bevoedge rechtsautoritet). Hukum positif adalah terjemahan dari“ius positum” dalam bahasa latin, yang secara harafiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gested recht). Jadi hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia.
Kaidah hukum positif adalah kaidah yang pada suatu waktu tertentu di tempat atau masyarakat tertentu berlaku dan ditegakkan sebagai hukum bagi orang-orang tertentu.       

Secara umum, kaidah hukum positif ini mempunyai ciri-ciri obyektif berikut ini :
a.       Bagian terbanyak dari kaidah-kaidah ini ditetapkan oleh kekuasaan yang berwenang (pemerintah atau otoritas publik).
b.      Memiliki sifat lugas, obyektif dan rasional. Artinya, dapat dikenal, dan tidak tergantung pada kehendak bebas yang subyektif, dan hampir selalu merupakan hasil dari suatu proses rasional melalui prosedur yang diatur secara cermat.
c.       Berkaitan dengan perilaku lahiriah yang dapat diamati.
d.      Memiliki cara keberadaan yang khas, yang disebut keberlakuan yang mencakup tiga faspek, yakni aspek moral, aspek sosial dan aspek yuridis.[23]
e.       Memiliki bentuk tertentu, yakni memiliki struktur formal.
f.       Berpretensi untuk mewujudkan tujuan tertentu, yakni mewujudkan ketertiban yang berkeadilan.
2.      Pemikiran Ronald Dworkin
Meskipun menurut beberapa ahli hukum Indonesia bahwa Dworkin merupakan salah satu tokoh positivisme, tetapi di dalam teorinya, dia tidak sependapat dengan teori positivis yang mengabaikan substansi hukum dan hanya memutus perkara berdasarkan norma-norma saja (normatif). Teori yang diwakili Dworkin adalah Content Theory yang muncul karena ketidaksetujuan terhadap sistem formalisme hukum yang ditokohi Langdell. Dalam hal ini Dworkin tidak setuju dengan penggunaan metode deduktif dalam pengambilan putusan. Dworkin dipandang sebagai penganut teori hukum alam modern karena sebelumnya mazhab hukum alam hanya berpegang pada asas legal formal dalam proses hakim membuat keputusan, tanpa mempertimbangkan substansi dari peraturan perundang-undangan yang ada. Dworkin juga memusatkan perhatiannya pada teori “law as integrity”-nya dimana peran moral para hakim dalam membangun suatu sistem substansi di dalam proses membuat putusan sangatlah mutlak perlu. Namun, meski sebagian ahli mengkritik Dworkin yang menyatakan anti pada sistem, tetapi sesungguhnya, dengan teori substansinya, Dworkin juga terjebak pada sistem baru yang akhirnya tak ada bedanya dengan sistem positivisme. Inilah yang membuat beberapa ahli hukum tetap memasukan Dworkin sebagai salah satu tokoh positivisme.
Pada prinsipnya pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada, adalah filosofi yang paling fundamental dari positivisme hukum. Beberapa ahli penganut aliran positivisme seperti telah diuraikan sebelumnya juga memiliki pemikiran yang pada dasarnya adalah sama di mana aliran positivisme hukum dipandang sebagai suatu aliran hukum yang mengutamakan perintah penguasa yang dikristalisasikan dalam bentuk peraturan-peraturan dan bukan didasarkan pada moralitas.[24]
3.      Mengapa Pandangan Hukum Positive Bertahan
Hukum positive memiliki sumbangan tersendiri dalam disiplin ilmu hukum. Hukum positif menyaratkan suatu perbedaan yang jelas antara yang legal atau illegal, sementara menganggap kurang penting antara mana yang bermoral dan tidak bermoral. Hukum positive mengandaikan bahwa hakikat hukum itu ada pada fenomenanya, meskipun kelompok essensialist menganggap hal ini sebagai second order (urutan ke dua) karena melihat pada bentuknya bukan dan melupakan esensinya. Namun bagaimanapun standar hukum dalam positivismesangat jelas. Hal ini dapat mempermudah orang awam sekalipun untuk mengenali sistem hukum itu sendiri. Seperti yang dikatakan Raz melalui Leiter: “Positivisme reflects and explicates our conception of the law”.
Hukum mampu merefleksikan dan member kita penjelasan mengenai konsep hukum kita. Misalnya saja kita dapat memberikan perbedaan yang mana kemampuan hakim dalam memutus perkara berdasarkan aturan main hukum dan mana yang menjadi karakter moralnya. Di samping itu, positivismememudahkan melakukan penyelidikan terhadap hukum. Penyelidikan secarascientific memerlukan batasan-batasan yang dikhususkan pada bidang disiplin ilmu. Dan positivisme telah berhasil membangun framework pada pertanyaan-pertayaan hukum.
Selanjutnya dan terakhir, menurut pendapat saya positivisme memuat pertanyaan tentang bagaimana hukum yang baik tersebut. Positivisme percaya bahwa hukum yang baik itu (ought to be) adalah hukum yang memiliki sifat utilitarianistik yaitu memberikan manfaat berupa kepuasan yang dapat diterima oleh beberapa pihak. Memang untuk mencapai kepuasan itu adalah subyektif namun setidaknya positivisme mampu mengkonstruksikan bagaimana kepuasan dapat dicapai. Kepuasan dapat dicapai ketika itu mampu diobyektifikasikan yakni merujuk pada fakta yang jelas. Dalam hal ini ketika hukum menjadi objektifikasi maka fakta empirik adalah fakta yang terdapat dalam hukum itu sendiri. Dari sini paling tidak, positivism sudah mampu untuk membuat standarisasi yang jelas sebagai sebuah bangunan pengetahuan.
Catatan munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan.
Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam

E.     Pandangan Hukum Kodrat/ Alam
Apabila orang mengikuti sejarah Hukum Alam, maka ia sedang mengikuti sejarah umat manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di dunia ini serta kegagalan- kegagalannya. Sepanjang waktu yang membentang ribuan tahun lamanya, juga sampai kepada masa sekarang ini, ide tentang Hukum Alam ini selalu apa saja yang muncul sebagai suatu manifestasi dari usaha manusia yang demikian itu, yaitu yang merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Pada suatu ketika ide tentang Hukum Alam muncul dengan kuatnya, pada saat yang lain lagi ia abaikan, tatapi bagaimanapun ia tida pernah mati.
Hukum Alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencangkup banyak teori di dalamnya. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke dalam Hukum Alam ini berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-beda pula.
Berikut ini disebutkan berbagai anggapan yang demikian itu[25] (Dias, 1976 : 653 ):
1.      Merupakan ideal- ideal yang menuntut perkembangan hukum dan pelaksanaannya,
2.      Suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara ”yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”
3.      Suatu metode untuk menentukan hukum yang sempurna,
4.      Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat dideduksikan melalui akal,
5.      Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.

Selama sejarahnya, Hukum Alam telah menjalankan dan melayani bermacam-macam fungsi, diantaranya (Friedman, 1953 : 17) adalah :
1.      Ia berfungsi sebagai instrumen utama pada saat hukum perdata romawi kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem internasional yang luas.
2.      Ia telah menjadi senjata yang dipakai oleh kedua pihak , yaitu pihak gereja dan kerajaan,dalam pergaulan antara mereka.
3.      Atas nama hukum alamiah kesahan dari hukum internasional itu ditegakan.
4.      Ia telah menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan induvidu berhadapan dengan absolutisme.
5.      Prinsip-prinsip Hukum Alam telah dijadikan senjata oleh para hakim Amerika, pada waktu mereka memberikan tafsiran terhadap konstitusi mereka, dengan menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan ekonomi.








BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Teori Berlakuya Hukum
a.       Teori Hukum Alam
b.      Teori Sejarah
c.       Teori Teokrasi (Teori Ketuhanan)
d.      Teori Kedaulatan Rakyat
e.       Teori Kedaulatan Negara
f.       Teori Kedaulatan Hukum
g.      Teori (Asas) Keseimbangan

2.      Hukum ditaati oleh Masyarakat
a.       Keberlakuan Faktual atau Empiris
Kaidah hukum dikatakan memiliki keberlakuan faktual, jika kaidah itu dalam kenyataan sungguh-sungguh di dipatuhi oleh para warga masyarakat dan oleh para pejabat yang berwenang sungguh-sungguh diterapkan dan ditegakkan. Dengan demikian, kaidah hukum tersebut dikatakan efektif. Sebab, berhasil mempengaruhi perilaku para warga dan pejabat masyarakat.
b.      Keberlakuan Normatif atau Formal
Sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan herarki kaidah hukum khusus yang bertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi
c.       Keberlakuan Evaluatif dalam hukum
Yaitu jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan keadaan keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan cara keinsafan.

3.      Landasan Kekuatan Mengikat Hukum
Landasan-landasan hukum yang diperlukan bagi pembentukan peraturan perundang-undang dapat dibedakan kedalam :
a.       Landasan hukum yang menentukan politik hukum,
b.      Landasan hukum yang menyangkut proses pembentukan peraturan perundang-undangan,
c.       Landasan hukum yang menyangkut aspek-aspek formal atau struktual atau organisatoris dari tata hukum nasional,
d.      Landasan hukum yang menentukan cirri dan jiwa tata hukum nasional,
e.       Landasan hukum yang menyangkut subtansi dan peraturan perundang-undangan.
4.      Pandangan Positifisme Hukum
Yang dimaksud dengan positifisme hukum adalah hal ditetapkannya dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kewenangan hukum yang berwenang(bevoedge rechtsautoritet). Hukum positif adalah terjemahan dari “ius positum” dalam bahasa latin, yang secara harafiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gested recht). Jadi hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia.
5.      Pandangan Hukum Kodrat/ Alam
Hukum Alam ini selalu apa saja yang muncul sebagai suatu manifestasi dari usaha manusia yang demikian itu, yaitu yang merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dari hukum positif

B.     SARAN
Dari tugas makalah ini banyak hal yang dapat kita pelajari. Seperti halnya yang sudah kami sampaikan pada tugas makalah ini, semoga dengan terselesaikannya makalah ini dapat menambah wawasan kita dan pemahaman kita mengenai Teori Berlakunya Kaidah Hukum Dan  Landasan Kenuatan Yang Mengikat Dari Hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Faisal. 2010. Menerobos Positivisme Hukum. Yogyakarta : Rangkang Education.
Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djamiati. 2005. Argumentasi Hukum.
Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
http://nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2013/07/teori-keberlakuan-hukum.html
http://roryyonaldi.blogspot.co.id/2009/10/kaidah-hukum.html
http://www.pnkotabumi.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=
1142
Kansil , C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Cetakan
Ke-7. Jakarta: Balai Pustaka.
Kelsen, Hans. 2008. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung : Nusa Media
Bandung.
Rahardjo, Prof. Dr. Satjipto. 2014Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Rasjidi ,H. Lili dan Thania Rasjidi. 1981. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum.
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Rasjidi, dkk. 2012. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
Rasjidi, Lili dan I. B. Wyasa Putra. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung:
Mandar Maju.
Saifullah. 2006.  Refleksi Sosiologi Hukum. Malang : Refika Aditama.
Soetiksno, Mr. 2004. Filsafat Hukum bagian 1. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.
Triwulan, Titik. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustakarya.
Wibisono, Koento. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Comte
Yogyakarta: Gaja Mada University Press.




[1] J.J H. Bruggink, Rechtsreflecties, terjemahan Arief  Sidarta, Refleksi Tentang Hukum, h. 160
[2] CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, h. 59. Lihat juga Samidjo dan A. Sahal,Tanya Jawab: Pengantar Ilmu Hukum, h. 44
[3] Ibid.
[4] Titik Triwulan., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2006), h.147-148
[5] Soehino, Ilmu Negara, h. 62
[6] Hugo de Groof dalam Samidjo, Ibid., lihat pula Soehino, Ilmu Negara, h. 96
[7] Artinya tentang panggilan zaman kita bagi perundang-undangan dan ilmu pengetahuan hukum, lihat Samidjo, ibid.,h. 133
[8] Samidjo dan A. Sahal, Op. Cit., h. 47
[9] Samidjo dan A. Sahal,Op. Cit., h.48
[10] Istlah ini sebagaimana dikatakan oleh Cicero yang menganut ajaran Stoa yang  lebih dikenal dengan doktrin teokrasinya “Diviner Rights of Kings”. Lihat Samidjo, Op. Cit.  h.107
[11] Samidjo dan A. Sahal, Op. Cit., h. 145. Lihat pula CST Kansil, Op. Cit., h. 62
[12] Samidjo, Loc. Cit.
[13] Samidjo dan A. Sahal, Op. Cit.,h. 49
[14] Ibid., h. 51
[15] CST Kansil, Op. Cit., h. 63
[16] Ibid.        
[17] Ibid.
[18] E. Utrecht dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. Ct., h. 45
[19] http://nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2013/07/teori-keberlakuan-hukum.html, pada tanggal 23 Oktober, pukul 20.37.
[20] Philipus M. Hadjon Dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, h.1
[21] Bernard Arif Sidharta, Loc. Cit.
[22] http://applawbuss.blogspot.co.id/2010/11/ringkasan-refleksi-tentang-hukum.html ,pada tanggal 23 Oktober 2015, pukul 20.5.
[23] http://roryyonaldi.blogspot.co.id/2009/10/kaidah-hukum.html, pada tanggal 23 Oktober 2015, pukul 20.47.

[24] Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Op. Cit.
[25] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), h. 276

Diposting oleh Carangerti di 20.03