MAKALAH
TEORI BERLAKUNYA KAEDAH HUKUM DAN
LANDASAN KEKUATAN YANG MENGIKAT DARI HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum di dalam masyarakat sangat erat dan berhubungan dengan kaidah atau
nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Adanya hukum dalam suatu
negara yang bermasyarakat akan membantu adanya ketertiban, keadilan dan
keseimbangan hak dan kewajiban setiap warga negara yang menduduki suatu wilayah
Negara. Hukum sebagai kaidah merupakan suatu perikelakuan atau sikap tindak
yang sepantasnya untuk di lakukan, dimana batasan-batasan atau patokan tersebut
memberikan dan dijadikan pedoman b
agi masyarakat, bagaimana seharusnya manusia
bertindak dan berkelakuan yang sesuai dengan norma atau aturan yang berlaku.
Dalam makalah ini penulis akan membahaskeberlakuan
kaidah hukum menurut Bruggink yang di bagi menjadi tiga macam keberlakuan,
yaitu : keberlakuan faktual atau empiris, keberlakuan normatif atau formal, dan
keberlakuan evaluatif.
Untuk menentukan sahnya suatu kaedah hukum juga membutuhkan sebuah landasan
kekuatan yang mengikat hukum dimana yang landasan itu terdiri dari tiga
landasan yaitu diantaranya: landasan filosifis, landasan sosiologis, dan
landasan yuridis. Disinilah arti penting sebuah kaedah dan landasan sebuah
hukum perlu ditetapkan dalam suatu Negara yang bermasyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana teori
berlakunya hukum?
2. Bagaimana hukum
ditaati oleh masyarakat?
C. TUJUAN
Adapun tujuannya yaitu
untuk mengetahui Teori Berlakunya Kaidah Hukum Dan Landasan Kekuatan
Yang Mengikat Dari Huku
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Berlakuya Hukum
Barangkali kita bertanya, “Dari manakah asalnya hukum dan mengapa orang
menaati dan tunduk pada hukum?” untuk menjawab hal itu dikenal sebagai teori
dan aliran pendapat dalam Ilmu Pengetahuan Hukum.Teori Hukum hakekatnya adalah
suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem
konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sisem tersebut
untuk sebagian yang pentinh dipositifkan.[1]
1. Teori Hukum Alam
Teori Hukum Alam telah ada sejak Zaman Yunani Kuno yang diajarkan anatara
lain oleh Aristoteles, yaotu membagi dua macam hukum, antara lain :
a. Hukum yang berlaku karena penetapan
penguasa negara
Menurut Aristoteles, pendapat seseorang tentang keaslian adalah berbeda,
sehingga seolah-olah tidak ada Hukum Alam yang asli. Namun demikian, keaslian
suatu benda atau hal tidaklah tergantung pada waktu dan tempat, terkecuali
dalam sesuatu hal tentulah ada.[3]
Berhubung dengan hal itu menurut Aristoteles, Hukum Alam itu adalah Hukum
yang oleh orang-orang berpikiran seha dirasakan sebagai selaras dengan kodrat
alam.
Thomas van Aquino (1225-1274) berpendapat , bahwa segala kejadian di alam
ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu Undang-undang abadi yang menjadi
dasar kekusaan dari semua peraturan-peraturan lainnya. Thomas van Aquino
Membedakan 4 macam golongan hukum (rechtscategorien) , yaitu Lex
aeterna, lex naturalis, lex divina, hukum positif.
a. Lex aeterna (Hukum Abadi), yaitu
rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal yang ada sesuai dengan tujuan dan
sifatnya, karena itu merupakan sumber dari segala hukum,
b. Lex Divina (Hukum Ke-Tuhanan),
yaitu sebagian kecil dari rasio Tuhan yang diwahyukan kepada manusia,
c. lex Naturalis (Hukum Alam), yaitu
bagian dari Lex Divina yng dapat ditangkap oleh rasio manusia atau merupakan
penjelmaan dari Lex Aeterna di dalam rasio manusia berkat
rasio manusia,
Manusia dikaruniai Tuhan dengan kemampuan berpikir dan kecakapan untuk
dapat membedakan baik dan buruk serta mengenal berbagai peraturan perundangan
yang langsung berasal dari Undang-undang abadi itu, dan yang oleh Thomas van
Aquino dinamakan Hukum Alam ( Lex Naturalis).[5]
Hugo de Groof (abad ke-17), seorang penganjur Hukum Alam dalam bukunya “ De
Jure Belli Ac Pacis” (Tentang Hukum perang dan damai), berpendapat bahwa sumber
hukum alam adalah pikiran atau akal manusia. Menurutnya, Hukum Alam adalah
pertimbangan pikiran yang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak
benar. Hukum Alam itu merupakan suatu pernyataan pikiran (akal) manusia yang
sehat mengenai persioalan apakah suatu perbuatan sesuai dengan kodrat manusia,
karena itu apakah perbuatan tersebut diperlukan atau harus ditolak.[6]
2. Teori Sejarah
Sebagai kontra terhadap Hukum Alam, di Eropa timbul aliran baru yang
depelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861) yang terkenal dengan
bukunya “Vom Beruf Unserer Zeit Fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (1814).[7]
Von Savigny berpendapat, bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu
penjelmaan jiwa atau rohani sesuatu bangsa, selalu ada suatu hubungan yang erat
aatara hukum dengan kepribadian sutu bangsa.[8]
3. Teori Teokrasi (Teori
Ketuhanan)
Teori ini mendasarkan kekuatan hukum atas kepercayaan pada Tuhan. Diterima
di dunia barat sampai Zaman Renaissance.[9]
Orang menganggap “Hukum itu Kemauan Tuhan”, dimana hukum ini berlaku
atas kehendak Tuhan. Pada masa lampau di Eropa para ahli fikir menganggap
dan mengajarkan, bahwa hukum itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dan oleh
sebab ituah maka manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk pada hukum.
Berhubung peraturan perundang-undangan itu ditetapkan Pengusa Negara, maka
oleh penganjur Teori Teokrasi diajarkan, bahwa para Penguasa Negara itu
mendapat kuasa dari Tuhan, seolah-olah para Raja dan Penguasa lainnya merupakan
wakil Tuhan.[10]
4. Teori Kedaulatan Rakyat
Menurut aliran Rasionalisme ini, bahwa Raja dan Penguasa Negara lainnya
memperoleh kekuasaanya itu bukanlah dari Tuhan, tetapi dari rakyatnya.[11]
Pertimbangan daripada Teori kedaulatan
rakyat adalah :
a. Raja yang seharusnya memerintah rakyat
dengan adil, jujur, dan baik hati sesuai dengan kehendak Tuhan. Tetapi
kenyataanya Raja banyak yang bertindak sewenag-wenang.
b. Apabila kedaulatan Raja berasal daru
Tuhan, tidak akan terjadi kekalahan Raja satu atas Raja lainnya.[12]
Pada abad ke-18 Jen Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa asas terjadinya
suatu negara adalah “Perjanjian Masyarakat (Contrat Social)” yang diadakan oleh
dan antara anggota masyarakt untuk mendirikan suatu negara. Adapun Teori Jen
Jacques Rousseau tersebut dikemukakaya dalam buku karyanya yang berjudull “Le
Contrat Social” (1762). Teori Jen Jacques Rousseau yang menjadi dasar
paham ‘Kedaulatan Rakyat’ mengajarkan, bahwa negara bersandar atas kemauan
rakyat, demikian pula halnya semua peraturan perundang-undangan adalah
penjelman rakyat tersebut.[13]
Pada abad ke-19, ”Hukum adalah Kehendak Negara dan Negara mempunyai kekuatan
yang tidak terbatas”. Menurut Hans Kelsen (Reine Rechtslehre) dan Wiener
Rechtsshule, hukum sebagai “Wille des Staates” yang artinya bahwa
hukum adalah “Kemauan Negara”. Menurut Kelsen orang tidak menaati hukum sebab negara
menghendakinya, orang taat pada hukum karena ia merasa wajib menaatinya sebagai
perintah Negara. Teori ini mendapat pembelaan dari Kranenburg yang
beranggapan bahwa sungguh-sungguh hukum itu berfungsi menurut suatu hukum yang
real dengan menggunakan metode empiris-analytis.
5. Teori Kedaulatan
Negara
Pada abad ke-19, Teori Perjanjian Masyarakat di tentang oleh teori yang
mengatakan, bahwa kekuasaan hukum tidak dapat didasarkan atas kemauan bersama
seluruh anggota masyarakat. Hukum itu ditaati adalah karena negaralah yang
menghendakinya. Hukum adalah kehendak negara dan negara itu mempunyai kekuatan
(power) yang terbatas.[14]
Teori ini dinamakan Teori Kedaulatan Negara, yang timbul pada abad
memuncaknya Ilmu-Ilmu Pengetahuan Alam. Namun demikian, Hans Kelsen mengatakan
bahwa orang taat kepada hukum bukan karena negara menghendakinya, tetapi orang
taat pada hukum karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah ngara.[15]
Penganjur Teori Kedaulatan Negara, yaitu Hans Kelsen dalam bukunya “Reine
Rechtslehre”, bahwa hukum itu adalah tidak lain daripada “Kemauan Negara” atau
“Wille des Staates”
6. Teori Kedaulatan Hukum
Kedaulatan Negara mendapat pertentangan dari seorang Mahaguru di
Universitas Leiden yang bernama Prof. Mr. H. Krabbe. Dalam bukunya yang
berjudul “Die Lehre der Rechtssouveraniter”. Menurutnya, hukum
itu ada karena tiap-tiap orang memiliki perasaan bagaimana seharusnya
hukum itu. Hanya kaidah yang timbul dari perasaan hukum seseorang,
mempunyai kekuasaan / kewibawaan. Suatu peraturan perundangan yang tidak
sesuai dengan rasa keadilan dari jumlah terbanyak orang, tidak dapat mengikat.
Peraturan perundangan yang demikian bukanlah ‘Hukum’ walaupun ia masih ditaati
ataupun dipaksakan.[16]
Kelemahan dari teori ini adalah apabila tiap orang mempunyai anggapan
sendiri tentang hukum, maka hukum yang berdasarkan anggapan sendiri itu jumlah
dan macamnya tak terhingga, sehingga masyarakat menjadi kacau. Oleh sebab itu,
tata tertib masyarakat menghendaki adanya hukum yang sama bagi tiap orang.
Melihat kelemahan itu Krabbe kembali mengemukakan pendapatnya hukum berasal
dari perasaan hukum dari anggota suatu masyarakat. Dari
bermacam-macam teori tersebut dapat disimpulkan sebagian kaidah-kaidah ditaati, oleh karena
ada paksaan (sanksi) sosial.
Teori yang timbul pada abad ke-20 ini dinamakan Teori Kedaulatan Hukum.
Penganut lainnya Hugo de Groof, Immanuel Khant, dan Leon Duguit.
7. Teori (Asas)
Keseimbangan
Prof. Mr. R. Kranenburg murid dari dan pengganti Prof. Mr. H. Krabbe berusaha
mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang. Kranenburg
membela ajaran Krabbe, bahwa kesadaran hukum orang itu menjadi sumber hukum.
Menurutnya, hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata(riil).[17]
Dalil yang nyata yang menjadi dasar befungsinya kesadaran hukum orang
dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut :
“Tiap orang menerima
keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dsar yang telah ditetapkan
atau diletakan terlebuh dahulu.
Pembagaian keuntungan
dan kerugian dalam hal tidak ditetapkan terlebih dahulu dasar-dasarnya, adalah
bahwa tiap-tiap anggota masyarakat hukum sederajat dan sama”.
Hukum atau dalil ini oleh Kranenburg dinamakan Asas Keseimbangan, berlaku
dimana-mana dan pada waktu apapun.
B. Hukum ditaati oleh Masyarakat
1. Keberlakuan Faktual atau Empiris
Kaidah hukum yang berlaku secara faktual atau nyata jika
para warga masyarakat, untuk siapa kaidah itu berlaku mematuhi kaidah
hukum tersebut. Dengan demikian, keberlakuan faktual dapat ditetapkan dengan
bersaranakan penelitian empiris tentang perilaku para warga masyarakat. Kaidah
hukum dikatakan memiliki keberlakuan faktual, jika kaidah itu dalam kenyataan
sungguh-sungguh di dipatuhi oleh para warga masyarakat dan oleh para pejabat
yang berwenang sungguh-sungguh diterapkan dan ditegakkan. Dengan demikian,
kaidah hukum tersebut dikatakan efektif. Sebab, berhasil mempengaruhi perilaku
para warga dan pejabat masyarakat.
Kenyataan tentang adanya keberlakuan faktual ini dapat diteliti
secara empirikal oleh Sosiologi Hukum, dengan menggunakan metode-metode yang
lazim dalam ilmu-ilmu sosial. Dalam perspektif Sosiologi Hukum, maka hukum itu
tampil sebagai ”das Sein-Sollen”, yakni kenyataan sosiologikal (perilaku sosial
yang sungguh-sungguh terjadi dalam kenyataan masyarakat riil) yang mengacu
keharusan normatif (kaidah).
2. Keberlakuan Normatif atau Formal
Hukum formal diketahui dan ditaati sehingga berlaku umum. Selama belum
mempunyai bentuk, suatu hukum baru merupakan perasaan hukum dalam masyarakat
atau baru merupakan cita-cita hukum, oleh karenanya belum mempunyai kekutan mengikat.[18]
Jika suatu kaidah merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum
tertentu yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk.
Sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hirarki kaidah hukum khusus yang
bertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah khusus yang lebih rendah diderivasi
dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi.[19]
3. Keberlakuan Evaluatif
Yaitu jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam
menentukan keadaan keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan
cara keinsafan. Dari sudut suatu
pendekatan kefilsafatan , orang dapat mengatakan bahwa hukum memiliki
keberlakuan karena isinya bermakna (keberlakuan evaluatif kefilsafatan atau
materil). Hal itu merupakan alasan paling penting bagi masyarakat akan menerima
hukum (keberlakuan evaluatif empiris). Jika para warga masyarakat menerima
hukum, maka mereka juga akan berperilaku mematuhi hukum (keberlakuan evaluatif
faktual atau empiris). [22]
C. Landasan Kekuatan Mengikat Hukum
Untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan diperlukan
landasan, karena landasan ini memberikan pengarahan terhadap perilaku manusia
di dalam masyarakat. Landasan hukum merupakan pokok pikiran yang bersifat umum
yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkrit. Dalam setiap
landasan hukum melihat suatu cita-cita yang hendak di capai.
Oleh karena itu, landasan hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan
hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat nya.
Menurut Eikema Hommes, landasan hukum tidak boleh dianggap sebagai
norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar
umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.
Landasan-landasan hukum yang diperlukan bagi pembentukan peraturan
perundang-undang dapat dibedakan kedalam :
1. Landasan hukum yang menentukan politik
hukum,
2. Landasan hukum yang menyangkut proses
pembentukan peraturan perundang-undangan,
3. Landasan hukum yang menyangkut
aspek-aspek formal atau struktual atau organisatoris dari tata hukum nasional,
4. Landasan hukum yang menentukan cirri dan
jiwa tata hukum nasional,
5. Landasan hukum yang menyangkut subtansi dan
peraturan perundang-undangan.
Landasan Hukum yang bukan universal dipengaruhi oleh waktu dan tempat, maka landasan
hukum pada suatu Negara tidak sama dengan Negara lain. Landasan hukum itu
mengandung nilai- nilai dan tuntutan-tuntutan etik,karenanya landasan
hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum (positif) dengan
cita-cita sosial dan pandangan etik masyarakat. Melalui landasan hukum ini
peraturan- peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian- bagian
dari suatu tatanan etik. karena adanya ikatan internal antara landasan- landasan hukum,
maka hukum merupakan suatu sistem, yaitu sistem hukum.
D. Pandangan Positifisme Hukum
1. Pelopor Teori Positivisme
Sebagaimana kita ketahui oleh para penstudi hukum, bahwa Pemikir
positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859)
yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum
sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah”
(command). Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan
tertutup.
Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan
oleh filosof Perancis yaitu August Comte (1798-1857) yang
berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur
roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak.
August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. Untuk memahami
positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang
mengaharuskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas proposisi
yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk
diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab
suci.
Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya
validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima pemikiran
dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang tidak dapat
difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam
perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam
undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan
merubahnya.
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam
ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat
diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai
hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral,
walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat
berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang
mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem
hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan
memberlakukannya sebagai hukum.
Yang dimaksud dengan positifisme hukum adalah hal ditetapkannyadalam
sebuah aturan hukum oleh pengemban kewenangan hukum yang berwenang (bevoedge
rechtsautoritet). Hukum positif adalah terjemahan dari“ius positum” dalam
bahasa latin, yang secara harafiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gested
recht). Jadi hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia.
Kaidah hukum positif adalah kaidah yang pada suatu waktu tertentu di tempat
atau masyarakat tertentu berlaku dan ditegakkan sebagai hukum bagi orang-orang
tertentu.
Secara umum, kaidah hukum positif ini mempunyai ciri-ciri obyektif berikut
ini :
a. Bagian terbanyak dari kaidah-kaidah ini
ditetapkan oleh kekuasaan yang berwenang (pemerintah atau otoritas publik).
b. Memiliki sifat lugas, obyektif dan
rasional. Artinya, dapat dikenal, dan tidak tergantung pada kehendak bebas yang
subyektif, dan hampir selalu merupakan hasil dari suatu proses rasional melalui
prosedur yang diatur secara cermat.
c. Berkaitan dengan perilaku lahiriah yang
dapat diamati.
d. Memiliki cara keberadaan yang khas, yang
disebut keberlakuan yang mencakup tiga faspek, yakni aspek moral, aspek sosial
dan aspek yuridis.[23]
e. Memiliki bentuk tertentu, yakni memiliki
struktur formal.
f. Berpretensi untuk mewujudkan tujuan
tertentu, yakni mewujudkan ketertiban yang berkeadilan.
2. Pemikiran Ronald Dworkin
Meskipun menurut beberapa ahli hukum Indonesia bahwa Dworkin merupakan
salah satu tokoh positivisme, tetapi di dalam teorinya, dia tidak sependapat
dengan teori positivis yang mengabaikan substansi hukum dan hanya memutus
perkara berdasarkan norma-norma saja (normatif). Teori yang diwakili Dworkin
adalah Content Theory yang muncul karena ketidaksetujuan terhadap sistem
formalisme hukum yang ditokohi Langdell. Dalam hal ini Dworkin tidak setuju
dengan penggunaan metode deduktif dalam pengambilan putusan. Dworkin dipandang
sebagai penganut teori hukum alam modern karena sebelumnya mazhab hukum alam
hanya berpegang pada asas legal formal dalam proses hakim membuat keputusan,
tanpa mempertimbangkan substansi dari peraturan perundang-undangan yang ada.
Dworkin juga memusatkan perhatiannya pada teori “law as integrity”-nya dimana
peran moral para hakim dalam membangun suatu sistem substansi di dalam proses
membuat putusan sangatlah mutlak perlu. Namun, meski sebagian ahli mengkritik
Dworkin yang menyatakan anti pada sistem, tetapi sesungguhnya, dengan teori
substansinya, Dworkin juga terjebak pada sistem baru yang akhirnya tak ada
bedanya dengan sistem positivisme. Inilah yang membuat beberapa ahli hukum
tetap memasukan Dworkin sebagai salah satu tokoh positivisme.
Pada prinsipnya pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada,
adalah filosofi yang paling fundamental dari positivisme hukum. Beberapa ahli
penganut aliran positivisme seperti telah diuraikan sebelumnya juga memiliki
pemikiran yang pada dasarnya adalah sama di mana aliran positivisme hukum
dipandang sebagai suatu aliran hukum yang mengutamakan perintah penguasa yang
dikristalisasikan dalam bentuk peraturan-peraturan dan bukan didasarkan pada
moralitas.[24]
3. Mengapa Pandangan Hukum Positive
Bertahan
Hukum positive memiliki sumbangan tersendiri dalam disiplin ilmu hukum.
Hukum positif menyaratkan suatu perbedaan yang jelas antara yang legal atau
illegal, sementara menganggap kurang penting antara mana yang bermoral dan
tidak bermoral. Hukum positive mengandaikan bahwa hakikat hukum itu ada pada
fenomenanya, meskipun kelompok essensialist menganggap hal ini sebagai second
order (urutan ke dua) karena melihat pada bentuknya bukan dan
melupakan esensinya. Namun bagaimanapun standar hukum dalam positivismesangat
jelas. Hal ini dapat mempermudah orang awam sekalipun untuk mengenali sistem
hukum itu sendiri. Seperti yang dikatakan Raz melalui Leiter:
“Positivisme reflects and explicates our conception of the law”.
Hukum mampu merefleksikan dan member kita penjelasan mengenai konsep hukum
kita. Misalnya saja kita dapat memberikan perbedaan yang mana kemampuan hakim
dalam memutus perkara berdasarkan aturan main hukum dan mana yang menjadi
karakter moralnya. Di samping itu, positivismememudahkan melakukan
penyelidikan terhadap hukum. Penyelidikan secarascientific memerlukan
batasan-batasan yang dikhususkan pada bidang disiplin ilmu. Dan positivisme telah
berhasil membangun framework pada pertanyaan-pertayaan hukum.
Selanjutnya dan terakhir, menurut pendapat saya positivisme memuat
pertanyaan tentang bagaimana hukum yang baik tersebut. Positivisme percaya
bahwa hukum yang baik itu (ought to be) adalah hukum yang memiliki sifat
utilitarianistik yaitu memberikan manfaat berupa kepuasan yang dapat diterima
oleh beberapa pihak. Memang untuk mencapai kepuasan itu adalah subyektif namun
setidaknya positivisme mampu mengkonstruksikan bagaimana kepuasan dapat
dicapai. Kepuasan dapat dicapai ketika itu mampu diobyektifikasikan yakni
merujuk pada fakta yang jelas. Dalam hal ini ketika hukum menjadi objektifikasi
maka fakta empirik adalah fakta yang terdapat dalam hukum itu sendiri. Dari
sini paling tidak, positivism sudah mampu untuk membuat standarisasi yang jelas
sebagai sebuah bangunan pengetahuan.
Catatan munculnya gerakan
positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang
kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan
ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak
aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya
spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak
adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan.
Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa Positivisme adalah suatu
aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya
bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah
hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas
hukum dalam
E. Pandangan Hukum Kodrat/ Alam
Apabila orang mengikuti sejarah Hukum Alam, maka ia sedang mengikuti
sejarah umat manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di
dunia ini serta kegagalan- kegagalannya. Sepanjang waktu yang membentang ribuan
tahun lamanya, juga sampai kepada masa sekarang ini, ide tentang Hukum Alam ini
selalu apa saja yang muncul sebagai suatu manifestasi dari usaha manusia yang
demikian itu, yaitu yang merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dari hukum
positif. Pada suatu ketika ide tentang Hukum Alam muncul dengan kuatnya, pada
saat yang lain lagi ia abaikan, tatapi bagaimanapun ia tida pernah mati.
Hukum Alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencangkup banyak teori
di dalamnya. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke dalam Hukum
Alam ini berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada masa yang
berbeda-beda pula.
Berikut ini disebutkan berbagai anggapan yang demikian itu[25] (Dias,
1976 : 653 ):
1. Merupakan ideal- ideal yang
menuntut perkembangan hukum dan pelaksanaannya,
2. Suatu dasar dalam hukum yang bersifat
moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara
”yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”
3. Suatu metode untuk menentukan hukum yang
sempurna,
4. Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat
dideduksikan melalui akal,
5. Suatu kondisi yang harus ada bagi
kehadiran hukum.
Selama sejarahnya, Hukum Alam telah menjalankan dan melayani bermacam-macam
fungsi, diantaranya (Friedman, 1953 : 17) adalah :
1. Ia berfungsi sebagai
instrumen utama pada saat hukum perdata romawi kuno ditransformasikan menjadi
suatu sistem internasional yang luas.
2. Ia telah menjadi
senjata yang dipakai oleh kedua pihak , yaitu pihak gereja dan kerajaan,dalam
pergaulan antara mereka.
3. Atas nama hukum
alamiah kesahan dari hukum internasional itu ditegakan.
4. Ia telah menjadi
tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan induvidu
berhadapan dengan absolutisme.
5. Prinsip-prinsip Hukum
Alam telah dijadikan senjata oleh para hakim Amerika, pada waktu mereka
memberikan tafsiran terhadap konstitusi mereka, dengan menolak campur tangan
negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan
ekonomi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Teori Berlakuya Hukum
a. Teori Hukum Alam
b. Teori Sejarah
c. Teori Teokrasi (Teori Ketuhanan)
d. Teori Kedaulatan Rakyat
e. Teori Kedaulatan Negara
f. Teori Kedaulatan Hukum
g. Teori (Asas) Keseimbangan
2. Hukum ditaati oleh Masyarakat
a. Keberlakuan Faktual atau Empiris
Kaidah hukum dikatakan
memiliki keberlakuan faktual, jika kaidah itu dalam kenyataan sungguh-sungguh
di dipatuhi oleh para warga masyarakat dan oleh para pejabat yang berwenang
sungguh-sungguh diterapkan dan ditegakkan. Dengan demikian, kaidah hukum tersebut
dikatakan efektif. Sebab, berhasil mempengaruhi perilaku para warga dan pejabat
masyarakat.
b. Keberlakuan Normatif atau Formal
Sistem kaidah hukum
terdiri atas keseluruhan herarki kaidah hukum khusus yang bertumpu kepada
kaidah hukum umum, kaidah khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum
umum yang lebih tinggi
c. Keberlakuan Evaluatif dalam hukum
Yaitu jika kaidah
hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan keadaan
keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan cara keinsafan.
3. Landasan Kekuatan Mengikat Hukum
Landasan-landasan
hukum yang diperlukan bagi pembentukan peraturan perundang-undang dapat
dibedakan kedalam :
a. Landasan hukum yang menentukan politik
hukum,
b. Landasan hukum yang menyangkut proses
pembentukan peraturan perundang-undangan,
c. Landasan hukum yang menyangkut
aspek-aspek formal atau struktual atau organisatoris dari tata hukum nasional,
d. Landasan hukum yang menentukan cirri dan
jiwa tata hukum nasional,
e. Landasan hukum yang menyangkut subtansi
dan peraturan perundang-undangan.
4. Pandangan Positifisme Hukum
Yang dimaksud dengan
positifisme hukum adalah hal ditetapkannya dalam sebuah aturan hukum
oleh pengemban kewenangan hukum yang berwenang(bevoedge rechtsautoritet). Hukum
positif adalah terjemahan dari “ius positum” dalam bahasa
latin, yang secara harafiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gested
recht). Jadi hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia.
5. Pandangan Hukum Kodrat/ Alam
Hukum Alam ini selalu
apa saja yang muncul sebagai suatu manifestasi dari usaha manusia yang demikian
itu, yaitu yang merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dari hukum positif
B. SARAN
Dari tugas makalah ini banyak hal yang dapat kita pelajari. Seperti
halnya yang sudah kami sampaikan pada tugas makalah ini, semoga dengan
terselesaikannya makalah ini dapat menambah wawasan kita dan pemahaman kita mengenai Teori Berlakunya Kaidah Hukum
Dan Landasan Kenuatan Yang Mengikat Dari Hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Faisal. 2010. Menerobos
Positivisme Hukum. Yogyakarta : Rangkang Education.
Hadjon, Philipus M.
dan Tatiek Sri Djamiati. 2005. Argumentasi Hukum.
Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
http://nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2013/07/teori-keberlakuan-hukum.html
http://roryyonaldi.blogspot.co.id/2009/10/kaidah-hukum.html
http://www.pnkotabumi.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=
1142
Kansil , C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia Cetakan
Ke-7. Jakarta: Balai Pustaka.
Kelsen, Hans. 2008. Teori
Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung : Nusa Media
Bandung.
Rahardjo, Prof. Dr.
Satjipto. 2014Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Rasjidi ,H. Lili
dan Thania Rasjidi. 1981. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum.
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Rasjidi, dkk. 2012. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum.
Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
Rasjidi, Lili dan I. B. Wyasa Putra. 2003. Hukum Sebagai Suatu
Sistem. Bandung:
Mandar Maju.
Saifullah. 2006. Refleksi
Sosiologi Hukum. Malang : Refika Aditama.
Soetiksno, Mr. 2004. Filsafat
Hukum bagian 1. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.
Triwulan, Titik. 2006. Pengantar
Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustakarya.
Wibisono, Koento.
1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Comte.
Yogyakarta: Gaja Mada University Press.
[2] CST Kansil, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, h. 59. Lihat juga Samidjo dan A.
Sahal,Tanya Jawab: Pengantar Ilmu Hukum, h. 44
[7] Artinya tentang
panggilan zaman kita bagi perundang-undangan dan ilmu pengetahuan hukum, lihat
Samidjo, ibid.,h. 133
[10] Istlah ini
sebagaimana dikatakan oleh Cicero yang menganut ajaran Stoa yang lebih
dikenal dengan doktrin teokrasinya “Diviner Rights of Kings”. Lihat
Samidjo, Op. Cit. h.107
[19] http://nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2013/07/teori-keberlakuan-hukum.html,
pada tanggal 23 Oktober, pukul 20.37.
[20] Philipus M.
Hadjon Dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2005, h.1
[22] http://applawbuss.blogspot.co.id/2010/11/ringkasan-refleksi-tentang-hukum.html
,pada tanggal 23 Oktober 2015, pukul 20.5.
[23] http://roryyonaldi.blogspot.co.id/2009/10/kaidah-hukum.html,
pada tanggal 23 Oktober 2015, pukul 20.47.
Diposting oleh Carangerti di 20.03